Saturday, January 7, 2012

Mengelola Resiko Operasional

(Vibizmanagement - Quality) - Apa akibatnya apabila kita gagal memahami dan mengendalikan  risiko operasional, seperti yang terlihat pada transaksi dan aktivitas bank akhir-akhir ini. Yang akan dihadapi adalah timbulnya peningkatan  resiko-resiko yang lain  secara tajam (drastis) dan diakhiri dengan terjadinya menurunnya performance / profit suatu organisasi.
Dewan Direksi dan Manajemen Senior bertanggung jawab menciptakan budaya organisasi yang menempatkan prioritas tinggi pada pengendalian operasional yang efektif dan kepatuhan pada pengendalian  operasional yang sehat. Manajemen risiko operasional sangat efektif jika budaya bank mendorong standar tingkah laku etis yang tinggi di semua tingkatan bank. Dewan dan Manajemen senior harus mempromosikan budaya organisasi yang membangun melalui tindakan dan kata-kata harapan integritas untuk semua pegawai dalam melakukan bisnis bank.
Prinsip-prinsip yang harus dijalankan supaya suatu organisasi dapat berjalan sesuai dengan prosedur operasional yang berlaku dan meminimasi resiko operasional dan resiko-resiko yang lain adalah seperti yang dijelaskan sbb:
Prinsip 1: Board of director, sebagai pimpinan tertinggi organisasi  harus menyadari  aspek utama risiko operasional bank yang harus dikelola, dan harus menyetujui dan mereview secara periodik kerangka manajemen risiko operasional bank. Kerangka harus memberi definisi risiko operasional menyeluruh pada perusahaan dan menentukan standar untuk mengidentifikasi, menilai, memonitor, dan mengendalikan (control/mitigate) risiko operasional. Di sini dewan harus  harus menyetujui implementasi kerangka kerja keseluruhan yang secara jelas mengelola risiko operasional sebagai suatu risiko tersendiri untuk kesehatan dan kekuatan bank. Dewan harus menyediakan tuntunan yang jelas bagi manajer senior dan arahan yang menyangkut prinsip-prinsip yang mendasari kerangka kerja tersebut dan menyetujui kebijakan-kebijakan yang berhubungan yang dikembangkan oleh manajer senior.
Kerangka kerja harus mencakup selera dan toleransi risiko operasional buat bank, seperti yang dinyatakan dalam kebijakan mengenai manajemen risiko dan prioritas bank terhadap aktivitas-aktivitas manajemen risiko operasional, termasuk tingkatan, dan tindakan dimana risiko operasional dialihkan kepihak lain diluar bank. Harus juga termasuk kebijakan yang secara garis besar pendekatan bank untuk melakukan identifikasi, menilai, monitor dan kontrol/mitigasi risiko. Tingkatan kesulitan dan kecanggihan dari kerangka kerja manajemen risiko operasional bank harus selaras dengan profil risiko bank. Karena aspek yang penting dalam mengelola risiko operasional berhubungan dengan kekuatan pengendalian intern, oleh karenanya sangat penting bagi Dewan menetapkan kejelasan lini tanggung jawab manajemen, akuntabilitas, dan pelaporan. Harus ada pemisahan tanggung jawab dan lini pelaporan antara fungsi kontrol risiko operasional, lini bisnis dan fungsi pendukung untuk menghindari benturan kepentingan. Kerangka kerja harus juga menyatakan proses kunci yang dibutuhkan perusahaan yang harus ada untuk mengelola risiko operasional.
Prinsip 2: Board of directors, sebagai pimpinan tertinggi organisasi  harus memastikan bahwa ada audit reguler terhadap kerangka manajemen risiko operasional yang dilakukan oleh tim internal yang independen dan kompeten (yaitu independen dari tim risiko operasional – biasanya fungsi internal  audit). Bank harus memiliki cakupan internal audit yang memadai untuk verifikasi kebijakan dan prosedur operasi telah diimplementasikan secara efektif. Dewan (baik langsung atau tidak langsung melalui komite auditnya) harus memastikan bahwa cakupan dan frekwensi program audit telah sesuai dengan eksposur risiko. Audit harus secara berkala memvalidasi kerangka kerja manajemen risiko operasional perusahaan telah diimplementasikan secara eketif di seluruh bagian dalam perusahaan.
Walaupun fungsi audit terlibat dalam pengawasan kerangka kerja manajemen risiko operasional, Dewan harus memastikan independensi audit tetap terjaga. Independensi ini mungkin akan ternodai jika fungsi audit terlibat langsung dalam proses manajemen risiko operasional. Fungsi audit mungkin akan menyediakan masukan yang bernilai untuk mereka yang bertanggung jawab pada manajemen risiko operasional, tetapi tidak boleh memiliki tanggung jawab manajemen risiko operasional secara langsung. Dalam praktiknya, Komite menyadari fungsi audit pada beberapa bank (khususnya bank yang lebih kecil) mungkin akan memiliki tanggung jawab awal untuk mengembangkan program manajemen risiko operasional. Jika hal itu terjadi, bank harus menyadari bahwa tanggung jawab sehari-hari dalam mengelola risiko operasional akan dialihkan kepihak lain dalam waktu yang tepat.
Prinsip 3: Manajemen senior harus bertanggung jawab untuk implementasi kerangka manajemen risiko operasional yang disetujui oleh board of director. Manajemen senior harus bertanggung jawab untuk pengembangan kebijakan, proses dan prosedur untuk mengelola risiko operasional pada bank. Manajemen harus menerjemahkan kerangka kerja manajemen risiko operasional yang dikembangkan oleh Dewan Direksi dalam kebijakan, proses dan prosedur yang spesifik yang dapat diimplementasikan dan diverifikasi dalam unit bisnis yang berbeda. Sementara level manajemen masing-masing bertanggung jawab untuk kesesuaian dan keefektifan kebijakan, proses, prosedur dan kontrol dalam cakupannya, senior manajemen harus secara jelas memberikan otoritas, tanggung jawab dan hubungan pelaporan untuk memajukan dan memelihara akuntabilitas, dan memastikan bahwa sumber daya yang diperlukan telah tersedia untuk mengelola risiko operasional secara efektif.
Lebih lagi, manajemen senior harus menilai kesesuaian proses pengawasan manajemen yang sesuai dengan risiko yang terkandung dalam kebijakan bisnis unit.  Manajemen senior harus memastikan bahwa aktivitas bank telah dilakukan oleh staff yang kompeten dengan pengalaman yang memadai, kemampuan teknis dan akses kepada sumber daya.Manajemen senior harus memastikan bahwa staff yang bertanggung jawab untuk mengelola risiko operasional berkomunikasi secara efektif dengan staff yang bertanggung jawab mengelola risiko kredit, pasar dan lainnya, juga dengan mereka yang dalam perusahaan bertanggung jawab untuk mengadakan layanan eksternal seperti pembelian asuransi dan perjanjian-perjanjian dengan outsourcing. Kealpaan melakukan hal itu akan mengakibatkan kesenjangan yang besar atau tumpang tindih dalam program manajemen risiko keseluruhan.
Manajemen senior harus memastikan bahwa kebijakan penggajian telah konsisten dengan selera risiko. Kebijakan penggajian yang justru memberi penghargaan kepada staff yang menyimpang dari kebijakan (contohnya melampaui limit yang telah ditetapkan) akan melemahkan proses manajemen risiko bank. Perhatian khusus juga harus diberikan pada kualitas kontrol dokumentasi dan praktik penanganan transaksi. Kebijakan, proses dan prosedur yang berhubungan dengan teknologi maju yang mendukung transaksi dalam jumlah yang besar, khususnya, harus didokumentasikan dan disebarluaskan kepada orang yang relevan.
Prinsip 4 : Identifikasi dan menilai risiko operasional yang terkandung di dalam semua produk, aktivitas, proses dan sistem.  Identifikasi risiko adalah kaki bukit dari pengembangan berkelanjutan monitor dan sistem kontrol risiko operasional yang bisa dilakukan. Identifikasi risiko yang efektif mempertimbangkan faktor internal (seperti struktur bank, karakteristik aktivitas bank, kualitas SDM bank, perubahan organisasi, perputaran staf) dan faktor eksternal (seperti perubahan dalam industri dan kemajuan teknologi) yang dapat mempengaruhi secara buruk pencapaian tujuan bank.  Sebagai tambahan, untuk melakukan identifikasi potensi risiko terburuk, bank harus menilai kerapuhan pada risiko-risiko ini. Penilaian risiko yang efektif membuat bank menyadari dengan lebih baik profil risikonya dan secara sangat efektif sumber daya-sumber daya tujuan manajemen risiko. Berbagai perangkat yang mungkin digunakan untuk melakukan identifikasi dan penilaian risiko operasional, antara lain:
Saat ini bank dinilai lemah di dalam menjalankan aktivitas operasionalnya sehingga memiliki potensial resiko operasional yang cukup besar. Oleh karena itu dibutuhkan Self – or Risk Assesment untuk membantu melakukan pengendalian terhadap resiko oeprasional. Proses ini digerakkan dari internal dan seringkali dalam bentuk checklist (daftar pertanyaan) dan/atau lokakarya (workshop) untuk melakukan identifikasi kekuatan dan kelemahan lingkungan risiko operasional. Scorecards, sebagai contoh, menyediakan cara menerjemahkan penilaian kualitatif menjadi metric kuantitatif yang memberikan peringkat berbagai tipe eksposur risiko operasional. Nilai tertentu mungkin berhubungan dengan risiko yang hanya ada pada lini bisnis tertentu sementara lainnya mungkin memeringkat risiko yang ada pada beberapa lini bisnis. Nilai mungkin menunjukkan risiko inheren, juga kontrol-kontrol untuk mitigasinya. Sebagai tambahan, Scorecards mungkin digunakan oleh bank untuk mengalokasikan modal ekonomis (economic capital) pada berbagai lini bisnis dalam hubungan dengan kinerja dalam pengelolaan dan kontrol berbagai aspek risiko operasional.
Selain itu sebagai langkah untuk mengendalikan resiko operasional adalah dengan Operasional Risk Mapping: dalam proses ini, berbagai unit bisnis, fungsi organisasi atau alur proses dipetakan dalam type risiko. Latihan ini dapat mengungkapkan area-area yang lemah dan menolong membuat prioritas tindakan manajemen selanjutnya.
Risk Indicators:  Adalah indikator risiko adalah statistik dan atau metrik, seringkali berhubungan dengan finansial, yang dapat menyediakan pengertian tentang posisi risiko bank. Indikator-indikator ini cenderung dikaji berkala (mungkin bulanan atau kuartalan) untuk mengingatkan bank pada perubahan indikasi yang menjadi perhatian risiko. Indikator-indikator ini mungkin termasuk jumlah kegagalan perdagangan, tingkat perputaran karyawan dan frekwensi dan/atau dampak kesalahan dan kelalaian.





Referensi :

  • http://vibizmanagement.com/journal/index/category/quality_management/117 
  • http://ceritapelajar-dhel.blogspot.com/2012_01_01_archive.html
»»  READMORE...

Pendekatan Dalam Menghitung Beban Modal

Perhitungan kebutuhan modal minimum untuk risiko operasional yang ditetapkan oleh Komite Basel terdiri dari:

a. BIA (Basic indicator approach) otau PID (Pendekatan Indikator Dasar)

Pendekatan Indikator Dasar atau PID merupakan pendekatan yang paling sederhana dan tidak sensitif terhadap risiko sehingga akan menghasilkan beban modal yang cenderung besar.

PID cocok digunakan oleh bank-bank yang lebih kecil dengan aktivitas bisnis yang sederhana. Untuk bank-bank yang aktif secara internasional, dan bank-bank yang memiliki risiko operasional tinggi didorong untuk menggunakan pendekatan yang lebih mendekati risiko sebenarnya.

b. SA (Standardized Approach) atou PSA (Pendekatan Standar)

Pendekatan PSA memberikan hasil yang lebih detail dari pads PID. Regulator menentukan delapan standar Lini Bisnis. Gross Income dibagi sesuai 8 (delapan) lini bisnis tersebut. Kebutuhan modal minimum harus dihitung berdasarkan suatu persentase tetap dari Gross Income setiap lini bisnis. Persentase tersebut ditentukan berbeda bagi lini bisnis tergantung dari eksposur risiko operasional suatu lini bisnis. Basel Committee menyebut persentase setiap lini bisnis sebagai faktor Beta (0).

a dan b Standar Model

c. AMA (Advanced Measurement Approach)

Dalam metode Advanced Measurement Approach (AMA), bank-bank diberi kesempatan untuk menggunakan hasil dari sistem pengukuran Risiko Operasional yang mereka miliki, namun tergantung pads standar-standar kualitatif dan kuantitatif yang ditetapkan oleh regulator, untuk menghitung kebutuhan modal minimum.

AMA merupakan pendekatan yang lebih kompleks dibandingkan dengan dua pendekatan sebelumnya sehingga lebih mencerminkan kondisi risiko yang sebenarnya. Dengan demikian perhitungan kebutuhan modal untuk menutup risiko operasional lebih sesuai.

Urutan penggunaan dari yang paling sederhana sampai dengan yang paling kompleks adalah sebagai berikut:

Basic Indicator Approach – Standardized Approach – Advanced Measurement Approach

Approach (BIA)

Bank dianjurkan untuk menggunakan cara yang lebih balk atas dasar profit risiko dari bank dan kemampuan melaksanakan manajemen risiko dari Bank. Untuk modul level 1 hanya akan dibahas perhitungan modal dengan BIA sebagai berikut:

V.6.1. BIA (Basic Indicator Approach) atau PID (pendekatan Indikator Dasar)

PID dapat diaplikasikan oleh seluruh Bank tanpa memandang kompleksitas dan kecanggihan suatu Bank. Namun demikian, bank perlu mematuhi pedoman yang diatur dalam “Sound Practice for Management and Supervision of Operational Risk”.

Perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional dalam perhitungan KPMM dengan menggunakan BIA dilakukan dengan rumus sebagai berikut:

ATMR untuk Risiko Operasional = 12,5 x beban modal Risiko Operasional.

Yang dimaksud dengan beban modal risiko operasional adalah rata-rata dari penjumlahan pendapatan bruto (gross income) tahunan yang mempunyai nilai positif pada 3 (tiga) tahun terakhir, dikalikan faktor alpha 15% (limabelas persen).

Perhitungan beban modal Risiko Operasional dilakukan dengan rumus sebagai berikut dimana:

  • GI = Gross Income yang positif selama 3 (tiga) tahun terakhir.
  • n    Jumlah tahun yang memiliki gross income yang positif.
  • A   15% (ditetapkan oleh Komite Basel berdasarkan kebutuhan modal pada Skala industri).
  • KPID = beban modal Risiko Operasional menggunakan BIA

Pendapatan Kotor atau gross income atau Pendapatan Bruto adalah Pendapatan Bunga Bersih ditambah Pendapatan Non Bunga Bersih. Pendapatan Bruto dihitung secara kumulatif dari periode awal Januari sampai dengan akhir Desember setiap tahun selama tiga tahun terakhir.

Pendapatan Bunga Bersih atau NIl (net interest income) adalah Pendapatan Bunga dikurangi dengan Beban Bunga. Pendapatan Non Bunga Bersih adalah Pendapatan non Bunga dikurangi dengan Beban non Bunga.

Yang termasuk Pendapatan Non Bunga adalah

  • Pendapatan dividen, komisi/provisi/fee
  • Keuntungan transaksi spot dan derivatif
  • Peningkatan nilai wajar (MTM) kredit yang diberikan
  • Peningkatan nilai wajar (MTM) aset keuangan lainnya
  • Keuntungan dari penjualansuratberharga dalam Trading Book – Diperdagangkan
  • Keuntungan dari penjualan kredit dalam Trading Book – diperdagangkan
  • Keuntungan dari penjualan aset keuangan lainnya dalam Trading Book -diperdagangkan
  • Pendapatan non bungs lainnya.

Yang termasuk kategori Beban Non Bunga adalah:

  • Komisi/provisi /fee
  • Kerugian transaksi spot dan derivatif
  • Penurunan nilai wajar (MTM)suratberharga
  • Penurunan nilai wajar (MTM) kredit yang diberikan
  • Penurunan nilai wajar (MTM) aset keuangan lainnya
  • Kerugian dari penjualansuratberharga dalam Trading Book diperdagangkan
  • Kerugian dari penjualan kredit dalam Trading Book – diperdagangkan
  • Kerugian dari penjualan aset keuangan lainnya dalam Trading Book diperdagangkan.

Contoh:                                                           (juta rupiah)

Bank A                       2010   2009   2008   2007   2006

Pendapatan Bruto        750   3.000   2.250  1.750   2.500

Berdasarkan data di atas, maka pendapatan bruto dalam rangka menghitung ATMR untuk Risiko Operasional posisi tahun 2011 adalah sebagai berikut

ATMR Risiko Operasional                 = 12,5 x beban modal Risiko Operasional

= 12,5 x [15%{(750+3.000+2.250)/3}]

= Rp.3.750 juta

Perhitungan pendapatan bruto dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

·         Pendapatan bruto adalah pendapatan bungs bersih ditambah pendapatan operasional non-bungs tertentu lainnya bersih yang dihitung secara kumulatif dari periode awal Januari sampai dengan akhir Desember setiap tahun.

  • Untuk Bank yang memiliki Unit Usaha Syariah, perhitungan pendapatan bruto memperhitungkan pula pendapatan bruto dari Unit Usaha Syariah setelah dikonversi sesuai dengan karakteristik usaha Bank dan prinsip Syariah.
  • Apabila berdasarkan hasil Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) terdapat koreksi atas besarnya pendapatan bruto, maka Bank harus melakukan koreksi atas perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional pads bulan berikutnya setelah laporan keuangan yang diaudit disampaikan oleh KAP kepada Bank.

Contoh:

Bank menghitung ATMR untuk Risiko Operasional selama bulan Januari dan Februari 2011 berdasarkan pendapatan bruto tahun 2008, tahun 2009, dan tahun 2010 (unaudited). Pads awal Maret 2011, Laporan Keuangan 2010 yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) telah disampaikan kepada Bank.

Berdasarkan laporan tersebut Bank menghitung ATMR untuk Risiko Operasional bulan Maret 2011 berdasarkan pendapatan bruto tahun 2008, tahun 2009, dan tahun 2010 (audited).

Apabila dalam menghitung rata-rata pendapatan bruto selama 3 (tiga) tahun terakhir terdapat 1 (satu) atau 2 (dua) tahun Bank mengalami pendapatan bruto negatif atau nihil, maka untuk perhitungan rata-rata pendapatan bruto tahunan, Bank harus mengeluarkan nilai pendapatan bruto negatif tersebut dari pembilang dan penyebut pada saat menghitung rata-rata pendapatan bruto.

Contoh:                                                           (juta rupiah)

BankA                                    2011   2010   2009   2008               2007

Pendapatan Bruto                   800   1.200  (750    (1.750)           3.000

Berdasarkan data di atas, maka pendapatan bruto dalam rangka menghitung ATMR untuk Risiko Operasional:

• Untuk posisi tahun 2012:

ATMR Risiko Operasional                 = 12,5 x beban modal Risiko Operasional

= 12,5 x [15%x{(800+1.200)/2}]

= Rp.1.875 juta

• Untuk posisi tahun 2011:

ATMR Risiko Operasional                 =12,5 x beban modal Risiko Operasional

= 12,5 x [15%x{(1.200)/1}]

= Rp.2.250 juta

Apabila dalam 3 (tiga) tahun terakhir Bank mengalami pendapatan bruto negatif atau nihil, maka untuk perhitungan rata-rata pendapatan bruto tahunan sebagaimana dimaksud pads huruf A, Bank harus menghitung beban modal Risiko Operasional dengan menggunakan pendapatan bruto tahunan terakhir yang positif.

Contoh:                                                                                                           (juta rupiah)

Bank A                       2010               2009               2008               2007               2006

Pendapatan Bruto     (1.250)            (1.500)            (750)               1.800              2.750

Berdasarkan data di atas, maka pendapatan bruto dalam rangka menghitung ATMR untuk Risiko Operasional posisi tahun 2011 adalah sebagai berikut:

ATMR Risiko Operasional                 = 12,5 x beban modal Risiko Operasional

= 12,5 x [15%x {(1.800)/1}]

= Rp.3.375 juta

Bagi Bank yang barn berdiri atau Bank hasil merger atau konsolidasi, maka Bank tidak diwajibkan untuk menghitung ATMR untuk Risiko Operasional sampai dengan akhir bulan Desember tahun pendiriannya atau tahun Bank dimaksud melakukan merger atau konsolidasi. Untuk tahun berikutnya, Bank wajib menghitung beban modal untuk Risiko Operasional dengan menggunakan pendapatan bruto selama tahun awal pendirian yang disetahunkan.

Contoh:

Beberapa Bank melakukan merger menjadi Bank A yang efektif beroperasi sejak tanggal15 April 2010. Pada akhir Desember 2010 total pendapatan bruto Bank A sebesar Rp.750 juta. Berdasarkan pengaturan diatas Bank A tidak diwajibkan untuk menghitung ATMR untuk Risiko Operasional sampai dengan akhir tahun pendiriannya (tahun 2010). Selama tahun 2011, sejak bulan Januari 2011 Bank A menghitung ATMR untuk Risiko Operasional sebagai berikut:

ATMR Risiko Operasional                 = 12,5 x beban modal Risiko Operasional

= 12,5 x [15%x{750x12/9}]

= Rp.1.875 juta

Bank B didirikan dan mulai beroperasi pads tanggal 19 Desember 2010. Total pendapatan bruto Bank B sampai dengan tanggal 31 Desember 2010 sebesar Rp. 100 juta. Berdasarkan pengaturan diatas Bank B tidak diwajibkan untuk menghitung ATMR untuk Risiko Operasional sampai dengan akhir tahun pendiriannya (Desember tahun 2010). Selama tahun 2011, sejak bulan Januari 2011 Bank B menghitung ATMR untuk Risiko Operasional sebagai berikut:

ATMR Risiko Operasional                 =12,5xbeban modal Risiko Operasional

= 12,5 x [15%x{I00x12/1}]

= Rp.2.250 juta

Kelebihan dari metode PID yakni:

  • Mudah untuk diimplementasikan.
  • Tidak membutuhkan waktu dan sumber daya yang besar seperti kalau Bank mengembangkan model yang lebih maju.
  • Cocok bagi Bank yang sedang dalam tahap awal melakukan implementasi Basel II, khususnya ketika data kerugian belum mencukupi untuk membuat model yang lebih kompleks cocok bagi Bank dengan ukuran kecil dan menengah.

Namun demikian, metode PID memiliki tiga kelemahan sebagai berikut :

  • Tidak memberikan perhatian khusus terhadap eksposur dan pengendalian risiko operasional Bank, struktur aktivitas bisnis, peringkat kredit, dan indikator lainnya. Dengan demikian, BIA tidak sensitif terhadap risiko.
  • Hasil perhitungan modalnya Bering over estimate dari kondisi sesungguhnya.
  • BIA tidak cocok diimplementasikan untuk Bank besar dan Bank yang aktif secara internasional.

Peraturan BI yang terkait dengan perhitungan BIA ini adalah SE BI No. 11/3/DPNP, 27 Januari 2009 perihal: Perhitungan Asset Tertimbang menurut Risiko (ATMR) untuk Risiko Operasional dengan Menggunakan Pendekatan Indikator Dasar (PID).





Referensi :
  • http://ircboy.wordpress.com/2011/07/21/v-6-perhitungan-modal-risiko-operasional/
»»  READMORE...

Banking Risk Assessment

Risiko kredit (bahasa Inggris: Credit risk) adalah merupakan suatu risiko kerugian yang disebabkan oleh ketidak mampuan (gagal bayar) dari debitur atas kewajiban pembayaran utangnya baik utang pokok maupun bunganya ataupun keduanya.
Risiko pemberi pinjaman atas konsumen
Kebanyakan pemberi pinjaman menggunakan cara penilaian kelayakan kredit mereka masing-masing guna membuat peringkat risiko konsumen lalu kemudian mengaplikasikannya terhadap strategi bisnis mereka. Dengan produk-produk seperti pinjaman pribadi tanpa jaminan atau kredit pemilikan rumah, kreditur akan mengenakan suku bunga yang tinggi terhadap konsumen yang berisiko tinggi dan sebaliknya. Pada pinjaman berulang seperti pada kartu kredit dan overdraft, risiko ini dikontrol dengan cara penetapan batasan kredit yang seksama. Beberapa produk mensyaratkan adanya jaminan yang biasanya dalam bentuk properti.
Risiko pemberi pinjaman atas bisnis
Debitur akan menawarkan biaya / keuntungan dari suatu pinjaman berdasarkan dari risiko dan suku bunga yang dikenakan, namun suku bunga ini bukan hanya satu-satunya metode kompensasi untuk risiko yang dihadapi. Perlindungan tambahan dalam bentuk pembatasan sebagaimana diatur dalam perjanjian kredit memungkinkan dilakukannya pengawasan oleh pemberi pinjaman (kreditur) atas peminjam (debitur) yaitu misalnya dalam bentuk :
  • Pembatasan terhadap debitur atas tindakan-tindakan yang dapat memengaruhi keuangan debitur misalnya melakukan pembelian kembali saham, melakukan pembayaran deviden, atau melakukan peminjaman baru.
  • Kewenangan untuk melakukan pengawasan atas utang dengan cara mensyaratkan adanya audit dan laporan keuangan bulanan.
  • Hak kepada kreditur untuk meminta pelunasan seketika atas utang yang diberikannya apabila terjadi suatu peristiwa khusus ataupun apabila rasio keuangtan seperti utang / ekuiti menurun.
Saat ini terdapat inovasi untuk melindungi kreditur dan pemegang obligasi terhadap risiko gagal bayar yaitu dalam bentuk kredit derivatif yang dikenal dengan istilah credit default swap. Dengan kontrak keuangan ini maka perusahaan dimungkinkan untuk membeli suatu perlindungan (proteksi) terhadap risiko gagal bayar dari pihak ketiga selaku penjual perlindungan. Penjual perlindungan ini memperoleh imbal jasa secara periodik sebagai bentuk kompensasi atas risiko yang diambil alih olehnya yaitu dalam bentuk kesepakatan untuk membeli tagihan tersebut apabila terjadi gagal bayar.
Risiko yang dihadapi oleh bisnis
Perusahaan menghadapi "risiko kredit" dalam hal misalnya perusahaan tidak menerima "pembayaran dimuka" secara tunai untuk produk atau jasa yang dijualnya. Dengan melakukan penyerahan barang atau jasa di depan dan menagih pembayaran kelak maka perusahaan menanggung suatu risiko selama tenggang waktu penyerahan barang atau jasa dengan waktu pembayaran.
Beberapa perusahaan memiliki d3epartemen risiko kredit yang bertugas untuk menilai kesehatan finansial dari konsumennya guna memutuskan pemberian kredit lebih lanjut atau tidak. Dalam hal ini dapat juga digunakan jasa pihak ketiga yaitu peruisahaan yang menyediakan jasa dibidang penilaian kredit dengan memberikan peringkat kredit seperti misalnya Moody's, Standard & Poor's, Fitch Ratings dan lainnya yang menyediakan informasi berbayar.
Risiko kredit ini tidak dengan sungguh-sungguh dikelola oleh perusahaan kecil yang hanya memiliki 1 atau 2 konsumen saja, sehingga perusahaan ini sangat rentan terhadap masalah gagal bayar atau keterlambatan pembayaran oleh konsumennya.
Risiko yang dihadapi individu
Konsumen dapat menemui risiko kredit dalam bentuk langsung misalnya sebagai deposan di bank atau sebagai debitur. Mereka dapat juga menghadapi risiko kredit sewaktu melakukan transaksi dagang dengan cara penyerahan uang muka kepada mitra pengimbang misalnya untuk melakukan pembelian rumah atau penyewaan rumah. Karyawan dari suatu perusahaan juga amat tergantung pada kemampuan perusahaan dalam melakukan pembayaran gaji juga termasuk yang menghadapi risiko kredit dalam stausnya sebagai karyawan.
Pada beberapa kasus, pemerintah menyadari bahwa kemampuan para individu ini untuk melakukan evaluasi atas risiko kredit sangat terbatas dan risiko ini dapat mengurangi efisiensi ekonomi sehingga pemerintah melakukan berbagai mekanisme dan langkah hukum guna melindungi konsumen terhadap risiko ini. Deposito bank pada beberapa negara dijamin dengan asuransi (hinga batasan nilai tertentu) untuk deposito individu / perorangan, yang secara efektif akan mengurangi risiko kredit mereka terhadap bank dan meningkatkan kepercayaan mereka menggunakan jasa perbankan.


Referensi :
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Risiko_kredit

»»  READMORE...

Regulasi PILAR Basel ; PILAR 2 dan PILAR 3

Pilar 2 – Supervisory Review. Proses supervisory review dalam pilar 2 dimaksudkan untuk mengoptimalkan praktek yang telah ada. Konsep ini secara implisit sudah ada pada Basel I dimaksudkan untuk menetapkan standar minimum yang dapat disesuaikan sesuai dengan kondisi bank. Pilar 2 merupakan pendekatan supervisory review yang menyerupai pendekatan pengawasan bank berbasis risiko yang digunakan oleh Federal Reserve Board di AS dan Financial Autority Services Authority di Inggris. Fokus dari supervisory review adalah:

  • Menjamin tersedianya modal diatas yang ditetapkan dalam Pliar I.
  • Melakukan intervensi secara dini jika diperlukan untuk mengantisipasi terhadap risiko yang akan muncul, sehingga modal tidak turun dibawah yang disyaratkan.

Pilar 2 juga meliputi evaluasi risiko suku bunga jenis tertentu dalam banking book sebagaimana dokumen Basel Committee “Principles for the management and supervision of interest rate risk” yang menjelaskan cara mengelola tingkat suku bunga di dalam banking book.


Tujuan utama Pilar 2 adalah meningkatkan keterkaitan antara profil risiko bank secara menyeluruh dan sistem manajemen risiko dengan modal bank. Untuk mencapai tujuan ini, Pilar 2 mempersyaratkan pelaksanaan program manajemen risiko yang baik oleh bank, dan penerapan pengawasan bank berbasis risiko (risk-based supervision – RBS) yang efektif oleh pengawas.


Bagi bank, maka peran pertama dan utama adalah untuk mengembangkan proses yang baik (robust) untuk identifikasi, monitor, mengukur dan mengendalikan seluruh risiko yang dipandang material.; dan kedua, untuk menetapkan kebutuhan kecukupan modal yang sesuai dengan profil risiko bank secara menyeluruh. Tanggung jawab bank sesuai Pilar 2-sebagaimana diuraikan di atas – disebut sebagai Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP).


Bagi pengawas, maka peran dalam Pilar 2 adalah untuk mereview dan mengevaluasi kecukupan (adquacy) ICAAP bank. Dengan kata lain, pengawas akan memanfaatkan penilaian bank sendiri terhadap profil risiko dan kecukupan modal sebagai masukan penting dalam penilaian risiko pengawasan bank secara keseluruhan. Berbagai faktor yang diperlukan untuk mengembangkan ICAAP yang memadai akan bervariasi sesuai dengan skala dan kompleksitas bisnis dari setiap bank.


Apabila hasil ICAAP bank dipandang belum memadai, maka pengawas dapat melakukan sejumlah tindakan pengawasan (supervisory actions) untuk memperbaiki permasalahan bank yang material. Tindakan-tindakan pengawasan ini bervariasi dan dapat termasuk tindakan pengawasan kepada pemegang saham, direksi, atau operasional bank bergantung pada karakteristik permasalahan yang ada. Tanggung jawab pengawas sesuai Pilar 2 disebut sebagai Supervisory Review and Evaluation Process (SREP).


Terminologi SREP bisa dipandang baru, namun pada dasarnya menggambarkan proses pengawasan bank yang telah dilakukan saat ini, yang meliputi baik pengawasan (offsite analysis) dan pemeriksaan (on-site examinations). Elemen utama dari SREP adalah dialog secara berkala antara bank dan pengawas selama siklus pengawasan.


Kerangka Basel II menetapkan 4 (empat) prinsip dalam Pilar 2, yang melengkapi Pilar 1 – Persyaratan Modal Minimum, yang secara rinci diuraikan sebagai berikut :

Prinsip 1 : Bank berkewajiban memiliki proses untuk menilai kecukupan modal secara keseluruhan yang dikaitkan dengan profil risiko dan strategi untuk mempertahankan tingkat permodalannya (Internal Capital Adequacy Assessment Process – ICAAP).

Prinsip 2 : Pengawas berkewajiban untuk mereview dan mengevaluasi perhitungan modal secara internal dan strategi-strategi bank, termasuk kemampuan untuk memantau dan memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan rasio permodalan. Pengawas wajib mengambil tindakan pengawasan yang tepat apabila tidak dapat menerima hasil proses tersebut (Supervisory Review and Evaluation Process - SREP).

Prinsip 3 : Pengawas berkewajiban meminta bank untuk beroperasi di atas rasio permodalan yang ditetapkan dan meminta bank menyediakan modal diatas batas minimum. 
Prinsip 4 : Pengawas berkewajiban melakukan intervensi dini untuk mencegah modal turun di bawah tingkat minimum yang dipersyaratkan untuk mendukung karakteristik risiko dari bank dan berkewajiban meminta bank melakukan langkah-langkah perbaikan apabila modal tidak dapat dipertahankan atau dipulihkan kembali.


Pilar 3 – Disclosure. Pilar 3 adalah pilar disiplin pasar. Basel mendefinisikan disiplin pasar sebagai mekanisme governance internal dan eksternal dalam perekonomian pasar uang tanpa adanya intervensi pemerintah secara langsung. Pilar 3 mencakup hal-hal yang akan dibutuhkan dalam hal pengungkapan publik oleh bank. Pilar 3 dirancang untuk membantu pemegang saham bank dan analis pasar dan selanjutnya akan meningkatkan transaparansi atas permasalahan seperti portofolio aktiva bank dan profil risikonya.

Basel I hanya mencakup Pilar I, namun dalam praktek, Pilar 2 dan Pilar 3 akan tetap ada pada semua negara, meskipun pendekatan yang digunakan untuk kedua Pilar tersebut dan aplikasinya mungkin sangat beragam. 

Cakupan Risiko Basel II 

Dalam pendekatan tiga pilar, Komite Basel mengusulkan untuk memperluas cakupan risiko di luar risiko kredit dan traded market risk sehingga mencakup lebih banyak jenis risiko yangdihadapi oleh bank.  Komite Basel memfokuskan Pilar I pada risiko kredit dan risiko operasional, sementara risiko pasar tidak mengalami perubahan seperti dalam 1996 Market Risk Amendment. Dalam Pendekatan Pilar I juga menandai untuk pertama kalinya penggunaan pendekatan kuantitatif untuk risiko operasional. Selain hal tersebut, terdapat berbagai risiko lain yang ingin dicakup dalam Pilar 2 dan Pilar 3, yang dikenal dengan ‘other risks’



Referensi :
  • http://bankirnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1132:pilar-2-basel-ii-icaap-a-srep&catid=69:manajemen-risiko&Itemid=102
  • http://bankirnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=737:tiga-pilar-basel-ii&catid=69:manajemen-risiko&Itemid=102


»»  READMORE...

Regulasi PILAR Basel ; PILAR 1

Basel II mengusung konsep "tiga pilar" yaitu persyaratan modal minimum, tinjauan pengawasan, serta pengungkapan informasi. Basel I sebelumnya hanya memperhatikan sebagian dari masing-masing pilar ini. Misalnya, Basel I hanya memperhitungkan risiko kredit secara sederhana, mempertimbangkan sedikit risiko pasar, serta sama sekali tidak menangani risiko operasional.


Pilar pertama berkaitan dengan pemeliharaan persyaratan modal (regulatory capital) yang diperhitungkan untuk tiga komponen utama risiko yang dihadapi bank: risiko kredit, risiko pasar, serta risiko operasional. Jenis risiko lain tidak dianggap layak diperhitungkan pada tahap ini.

Risiko kredit dapat dihitung dengan tiga cara yang berbeda tingkat kerumitannya, yaitu pendekatan standar (standardized approach), Foundation IRB (internal rating-based), dan Advanced IRB. Risiko operasional dihitung dengan tiga pendekatan yaitu pendekatan dasar (basic indicator approach, BIA), pendekatan standar (standardized approach, STA), serta advanced measurement approach (AMA). Sedangkan pendekatan yang biasanya dipilih untuk perhitungan risiko pasar adalah pendekatan VaR (value at risk).



Referensi :
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Basel_II
»»  READMORE...

Implementasi Basel

Basel I adalah suatu istilah yang merujuk pada serangkaian kebijakan bank sentral dari seluruh dunia yang diterbitkan oleh Komite Basel pada tahun 1988 di Basel, Swiss sebagai suatu himpunan persyaratan minimum modal untuk bank. Rekomendasi ini dikukuhkan dalam bentuk aturan oleh negara-negara Group of Ten (G10) pada tahun 1992. Basel I secara umum telah ditinggalkan dan digantikan oleh himpunan pedoman yang lebih komprehensif, yang disebut Basel II, yang sedang diterapkan oleh beberapa negara. Basel II adalah yang kedua dari Basel Accord, (sekarang diperpanjang dan efektif digantikan oleh Basel III ), yang rekomendasi mengenai hukum perbankan dan peraturan yang dikeluarkan oleh Komite Basel tentang Pengawasan Perbankan.

Basel II, awalnya diterbitkan pada bulan Juni 2004, dimaksudkan untuk menciptakan sebuah standar internasional untuk regulator perbankan untuk mengontrol berapa banyak kebutuhan modal bank-bank untuk menyisihkan untuk menjaga terhadap jenis bank risiko keuangan dan operasional (dan ekonomi keseluruhan) wajah. Salah satu fokus adalah untuk menjaga konsistensi peraturan yang cukup sehingga hal ini tidak menjadi sumber ketidaksetaraan antara bank-bank internasional yang kompetitif aktif. Advokat Basel II percaya bahwa standar internasional seperti dapat membantu melindungi sistem keuangan internasional dari jenis masalah yang mungkin timbul harus sebuah bank besar atau serangkaian keruntuhan bank. Dalam teori, Basel II berupaya mencapai hal ini dengan mendirikan risiko dan persyaratan pengelolaan modal yang dirancang untuk memastikan bahwa bank memiliki modal yang memadai untuk resiko bank menghadapkan dirinya untuk melalui pinjaman dan praktik investasi. Secara umum, aturan-aturan ini berarti bahwa risiko lebih besar untuk bank mana yang terkena, semakin besar jumlah modal bank perlu terus untuk menjaga nya solvabilitas dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Secara politis, hal itu sulit untuk menerapkan Basel II di lingkungan peraturan sebelum 2008, dan kemajuan pada umumnya lambat sampai krisis perbankan besar tahun itu disebabkan sebagian besar oleh credit default swap, hipotek keamanan berbasis pasar dan serupa derivatif . Sebagai Basel III dirundingkan, ini adalah puncak pikiran, dan karenanya jauh lebih ketat standar yang dimaksud, dan dengan cepat diadopsi di beberapa negara kunci termasuk Amerika Serikat.

Basel II menggunakan "tiga pilar" konsep :
1) Persyaratan modal minimum (menghadapi resiko),
2) Supervisory review dan
3) Disiplin pasar

Kesepakatan Basel I hanya berurusan dengan bagian-bagian dari masing-masing pilar. Sebagai contoh : sehubungan dengan pilar Basel II pertama, hanya satu risiko, risiko kredit, dihadapi dengan cara yang sederhana sambil risiko pasar adalah renungan; risiko operasional tidak ditangani dengan sama sekali.

Basel II dibuat berdasarkan struktur dasar the 1988 accord  yang memberikan kerangka perhitungan modal yang bersifat lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive) serta memberikan insentif terhadap peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko di bank. Hal ini dicapai dengan cara penyesuaian persyaratan modal dengan risiko dari kerugian kredit dan juga dengan memperkenalkan perubahan perhitungan modal dari eksposur yang disebabkan oleh risiko dari kerugian akibat kegagalan operasional.

Basel II bertujuan meningkatkan keamanan dan kesehatan sistem keuangan, dengan menitikberatkan pada perhitungan permodalan yang berbasis risiko, supervisory review process, dan market discipline. Framework Basel II disusun berdasarkan forward-looking approach yang memungkinkan untuk dilakukan penyempurnaan dan penyesuaian dari waktu ke waktu. Hal ini untuk memastikan bahwa framework Basel II dapat mengikuti perubahan yang terjadi di pasar maupun perkembangan-perkembangan dalam manajemen risiko.

Referensi :
  • http://yosuaeb04.blogspot.com/2012/01/implementasi-basel.html

»»  READMORE...